Sanggar Swara

]

Program Kami

]

Pengurus

Penyelenggara

Penggagas

Eliza Vitri & Infinity adalah inisiatif terbaru dari penulis novel dan seniman Eliza Vitri Handayani. Inisiatif seni ini berbasis lokakarya menulis dengan komunitas yang sering dipinggirkan untuk memunculkan cerita-cerita yang kemudian akan diolah ke bentuk-bentuk kreatif dan disebarluaskan dengan cara-cara gerilya. Ikuti kegiatan Eliza Vitri & Infinity melalui akun Instagram @ElizaVitriX

Mitra Komunitas

Sanggar Swara adalah sekolah dan komunitas bagi transpuan muda yang menyediakan kursus, kesempatan magang, dan bentuk dukungan lainnya untuk membangun kemandirian dan pemberdayaan bagi transpuan dalam kerangka hak asasi manusia, gender, dan seksualitas, dan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu transpuan di daerah Jabodetabek. Sanggar Swara didirikan pada 2006 sebagai program di bawah Yayasan Srikandi Sejati. Selama program CERITRANS, Swara diwakili oleh Kanzha Vinaa dan Rere Agistya.

Mitra Inggris

Khairani Barokka adalah penulis dan seniman yang berasal dari Jakarta dan sekarang berdiam di London. Saat ini ia menjadi salah satu seniman pada National Centre for Writing, juga menjadi peneliti pada Decolonising Arts Institute di University of the Arts, London. Penghargaan yang pernah diterima Okka antara lain adalah Indonesian Young Leader Driving Social Change UNFPA, fellowship dari Sekolah Seni Tisch, New York University, dan Penyair Berasosiasi Pertama di majalah Modern Poetry in Translation. Okka dapat diikuti di Twitter @mailbykite.

Pengurus Program

InterSastra, didirikan pada 2012, adalah komunitas seni yang melawan penindasan dan mendobrak batasan-batasan pada masyarakat melalui penerbitan, penerjemahan, proyek seni kolaborasi, lokakarya, dan program pembimbingan. InterSastra menerbitkan serial sastra dwibahasa seperti Unrepressed (2018-2020) dan Diverse Indonesia: Next Generation (2015-2016). InterSastra telah menjadi mentor untuk lusinan penulis dan penerjemah awal karir. Program seni InterSastra antara lain adalah House of the Unsilenced (2018, 2019), Fashion ForWords (2019), dan CERITRANS (2021). Ikuti InterSastra melalui Instagram, Twitter, dan YouTube.

Pengurus Program

House of the Unsilenced dirintis oleh InterSastra pada 2018 sebagai program seni yang mempertemukan seniman dengan penyintas kekerasan berbasis gender untuk menciptakan karya seni baru dan bersuara bersama demi keadilan gender. Karya-karya tersebut kemudian dipamerkan dalam sebuah rumah yang didedikasikan untuk merayakan kreatifitas dan keberanian para penyintas.

InterSastra dan House of the Unsilenced diwakili oleh Gaia Khairina, Zinda Adinta, dan Rajendra Amira.

Panitia

Koordinator Utama

Gaia Khairina memiliki minat pada seni dan sastra dan kini sedang mempelajari isu-isu dalam feminisme, perkembangan kota, dan keadilan sosial. Ia lulus dengan gelar liberal arts pada 2015 dan kini bekerja di bidang lingkungan. Ia telah menulis puisi dalam bahasa Indonesia dan Inggris sejak kecil, dan berharap dapat menerbitkan kumpulan puisi berilustrasi suatu hari. Gaia aktif di Twitter-nya @nairikha.

Koordinator Media Sosial

Zinda Adinta menulis puisi dan bekerja sebagai guru lepas bahasa Prancis dan penulis konten media sosial. Ia memiliki gelar Sastra Prancis dan telah mempelajari berbagai genre sastra. Dulu Zinda bekerja di bidang perhotelan dengan fokus pada komunikasi pemasaran dan hubungan masyarakat. Kecintaannya pada buku, musik, film, dan alam menginspirasi Zinda untuk menerbitkan buku puisi dwibahasa pertamanya, berjudul Kelana Imaji. Zinda sesekali mengulas pengalamannya tinggal di hotel dan tempat makan melalui akun Instagram @eatstayholic. Kini, Zinda sedang mengerjakan buku puisi keduanya dan terkadang menampilkan satu-dua puisi di akun @lepoemdecerveau. Ia juga berpartisipasi dalam klub menulis @cswritersclub.

Project Officer

Rajendra Amira adalah penulis, peneliti, dan penampil seni yang bekerja secara lepas. Ia memiliki gelar Bachelor of Arts di bidang Filsafat, dengan fokus pada Filsafat Politik, Hak Asasi Manusia, dan Identitas. Karya kreatifnya dipengaruhi oleh bentuk-bentuk penceritaan dan spiritualitas introspektif, dan ia sangat senang minum teh jahe pada hari-hari hujan. Ia pernah tampil untuk Melati Suryodarmo dalam pamerannya Why Let the Chicken Run?, produksi seni-kombinasi Hari Krishnan inDance:SKIN, dan menjadi bagian dari CONTRA-TIEMPO Futuro Dance Intensive 2009. Ia sesekali membagi puisinya melalui Instagram pada akun @rajendra_amira

Seniman Kolaborator

Seniman dan Mentor Utama

Eliza Vitri Handayani adalah seorang novelis dan seniman dari Indonesia. Dia bersemangat untuk mencapai masyakat yang lebih inklusif melalui seni. Dia adalah pendiri InterSastra, komunitas yang melawan marjinalisasi dengan membuka peluang bagi orang-orang kreatif dari latar belakang yang beragam; House of the Unsilenced, sebuah proyek seni untuk keadilan gender; dan Fashion ForWords, sebuah peragaan busana untuk melawan penindasan. Novelnya From Now On Everything Will Be Different (Vagabond Press, 2015) membuatnya mendapatkan residensi WrICE (2016) dan undangan ke berbagai festival di manca negara. Dia ikut mendirikan Kolektif As-Salam, yang mengadakan sesi belajar untuk mempelajari ulang Islam dari perspektif feminis. Kolektif ini telah menciptakan koleksi busana Indonesian Muslim Looks (2019). Baca beberapa karyanya di elizavitri.com, dan sapa dia di Instagram @elizavitri atau Twiter @elizavitri.

Mentor Penulisan Puisi

Khairani Barokka, alias Okka, adalah penulis dan seniman dari Jakarta yang kini tinggal di London. Ia juga penulis/penampil/produser, antara lain, pertunjukan puisi/seni yang aksesibel bagi difabel tuli, Eve and Mary Are Having Coffee, yang diluncurkan di Edinburgh Fringe Festival 2014 sebagai satu-satunya perwakilan Indonesia. Juga pada 2014 ia diakui oleh UNFPA sebagai salah satu dari “Pemimpin Muda Inspiratif yang Mendorong Perubahan Sosial.” Diterbitkan dalam berbagai antologi dan jurnal, Okka telah mempresentasikan karyanya di lima belas negara, sering menjadi pembicara di muka umum, dan telah dianugerahi berbagai residensi, hibah, dan nominasi penghargaan, termasuk nominasi Pushcart. Dia adalah penulis dan ilustrator buku seni puisi Indigenous Species, dinominasikan untuk Goldsmiths Public Engagement Award (Tilted Axis Press, 2016; terjemahan Vietnam AJAR Press, 2018). Bersama Ng Yi-Sheng ia mengedit HEAT: A Southeast Asian Urban Anthology (Fixi, 2016), dan bersama Sandra Alland dan Daniel Sluman, ia mengedit Stairs and Whispers: D/deaf and Disabled Poets Write Back (Nine Arches Press, 2017), yang terpilih untuk Saboteur Award for Best Anthology dan Poetry School Book of the Year. Karya-karyanya telah muncul di Poetry Review, The Rialto, Ambit, Magma, Wasafiri, Stand, The New Inquiry, Asymptote, dll. Dia anggota kolektif Malika’s Poetry Kitchen dan menerima gelar PhD by Practice dari Goldsmiths, Visual Cultures Department. Koleksi puisi pertamanya berjudul Rope (2017), dan yang terbaru Ultimatum Orangutan (Nine Arches, 2019).

Mentor dan Sutradara Pementasan

Ruth Marini adalah seorang aktor film dan teater, sutradara, dan pelatih akting. Ia berproses selama 16 tahun bersama Teater Satu, Lampung, dan dinobatkan sebagai aktris monolog terbaik Indonesia pada 2007. Pada 2017 ia pindah ke Jakarta dan mendirikan Sanggar Aktor Cilik Indonesia yang saat ini beranggotakan puluhan anak yang terjun ke dunia perfilman dan televisi. Ia juga mendirikan Actor Works, tempat aktor film dan televisi menempa diri. Setelah tiga tahun kiprahnya di dunia film, ia telah membintangi lebih dari 10 film box office, antara lain dalam Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni, Sebelum Iblis Menjemput, Ratu Ilmu Hitam, Demi Waktu, Asih 2, Sementara Selamanya, Detektif Soleh, Wening, dll. Pada 2018 ia meraih nominasi Festival Film Indonesia, Indonesian Movie Actor, Piala Maya, Indonesia Box Office, dan Festival Film Tempo. Di teater, dua pentas terbarunya adalah wayang orang dengan judul Sang Sukrasana dan sebagai Nyi Reso dalam pertunjukan mahakarya WS Rendra Panembahan Reso. Film panjang pertama yang disutradarinya adalah Waktu Tanpa Buku, dengan naskah karya Lene Therese Teigen, terjemahan Faiza Mardzoeki.

Desainer Grafis dan Ilustrator

Cindy Saja adalah seorang ilustrator yang bekerja lepas. Karya-karyanya banyak mengangkat tema seputar isu sosial di masyarakat Indonesia. Lahir di Jakarta, Cindy Saja menemukan bakat menggambarnya sejak masih kecil. Di mana pun ia menggenggam pensil, tangannya bergerak dengan sendirinya dan mulai membuat garis-garis bentuk gambar imajinatif. Setelah menamatkkan Pendidikan Seni Rupa peminatan Ilustrasi di Institut Kesenian Jakarta pada 2011, ia mengawali karir sebagai ilustrator di penerbit buku Kompas. Sambil bekerja, ia menerima beasiswa untuk melanjutkan studi magister desain di Insitut Teknologi Bandung (2012-2014). Karya ilustrasinya banyak berkolaborasi dengan para penulis seperti Gouri Mirpuri, Butet Manurung, Erikar Lebang, Rene Suhadono, Rani Pramesti, dan masih banyak lagi. Kini, Cindy masih aktif bekerja lepas di penerbit Kompas, dan sedang menyiapkan proyek pribadinya. Ia terus mengasah kemampuan ilustrasinya melalui halaman media sosial Instagram @cindysaja.

Tim Produksi Film

Produksi Film Pementasan – Seven Ten dan tim

Brahmantyo Putra adalah seorang seniman multidisiplin yang bergerak dalam bidang film dokumenter, foto jurnalisme, dan instalasi seni. Sepanjang kariernya dia telah berkolaborasi dengan berbagai seniman manca negara untuk mengangkat topik sosial, budaya, dan politik melalui pameran di Indonesia dan Australia. Pada 2018 ia mendirikan Seven Ten Media sebagai wadah bagi para pembuat film untuk bereksperimen di ranah dokumenter [seventenmedia.com].

Riani Singgih adalah seorang pembuat film dokumenter dan penata gambar untuk berbagai medium. Riani memiliki keinginan untuk membuat film yang mengangkat isu-isu HAM, kelompok minoritas, dan kesehatan mental. Karya dokumenternya sudah pernah tayang di lebih dari 50 film festival di seluruh dunia dan film dokumenter pertamanya yang mengangkat tema LGBT telah menang di 35 film festival.

Rizky Rahad adalah sutradara dan produser queer independent yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Karyanya berusaha untuk membayangkan kembali narasi hetero-patriarki Indonesia melalui kolaborasi intim dengan masyarakat pinggiran, dari kelompok tari Jawa yang menghidupkan kembali tradisi tari kuno hingga perempuan Timor yang menato diri mereka sendiri untuk menghindari perbudakan seksual. Sebagai produser VICE pertama di Indonesia, ia membantu membangun departemen video cabang Indonesia dari awal, memproduksi lebih dari 50 film dokumenter, dan mengembangkan kanal video mereka dari nol menjadi lebih dari lima ratus ribu pemirsa dalam dua tahun. Karya Rizky telah diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival dan South by Southwest Film Festival, serta dipublikasikan oleh media internasional di seluruh dunia antara lain VICE, HBO, Discovery Channel, Vox, Boiler Room, dan Stereogum. Pada 2019, Rizky terpilih untuk program pengembangan bakat Berlinale ke-69 sebagai sutradara.

Komposer Musik

Edacitra adalah seorang penyanyi dan penulis lagu yang berkolaborasi dengan Tengku Ariy sebagai pengarang musik dan produser. Bersama-sama mereka menciptakan lagu “Ada Pelangi di Langit Sore”, yang liriknya diadaptasi dari puisi karya Wiji Thukul, “Fried Chicken No Chili” yang dipopulerkan band Caterpillar, “Jalan Setapak dan Layang-layang” yang dinyanyikan Rudi Syarif, dan “Perempuan Sabana” yang liriknya diadaptasi dari puisi karya Diana Timoria, penyair asal Sumba. Edacitra berasal dari Medan dan juga pendiri Degil House yang menaungi beberapa komunitas kreatif seperti Hujan Kata-kata dan Sirkam (Sirkulasi Kreasi Perempuan). Saat ini, Edacitra, Tengku Ariy, dan kolaborator mereka di Hujan Kata-kata sedang mengerjakan album kompilasi kedua, yang menampilkan lagu-lagu yang diadaptasi dari karya penyair terkenal dari Indonesia dan luar negeri.

Penata Rambut dan Riasan

Ayu Saree adalah seorang perias, penata rambut, komedian yang hobi menyanyi, akting, dan membuat lelucon di TikTok @ayusaree02. Selain itu, ia dapat ditemukan sibuk di platform media sosial lainnya.

Tim Editing Film

Sarah Adilah adalah sutradara lulusan Universitas Multimedia Nusantara jurusan Film dengan karya Neraka di Telapak Kaki (2018) yang meraih nominasi dokumenter pendek terbaik FFI 2018, Gula dan Pasir (2018) yang diputar pada World Cinema Amsterdam 2019, dan Menjadi Dara (2019) yang mendapatkan penghargaan special mention Viddsee Award Indonesia 2019. Selain menyutradarai, Sarah senang melakukan pekerjaan komersil sebagai penulis atau editor. Meskipun begitu, ia terbuka dengan kerja sama sebagai produser, seperti pada film pendek Pada Suatu Hari (2020) dan proyek dokumenter GoodPitch berjudul Hidup dengan Bencana (2021).

Abraham Risyad Adikuncoro, atau Abe, lahir di Jakarta, 1998. Aktif berkomunitas sejak 2014, saat ini sedang menjalani tahun terakhir dalam jurusan arsitektur dan membanting setir ke dalam industri perfilman.

Tim Media

Ade Kusumaningrum bekerja untuk kantor UNESCO Jakarta sebelum memulai karirnya sebagai publicist film sejak 2003, sebagai publicist Festival Film Prancis. Sejak itu, ia telah bekerja sebagai publicist untuk Festival Film Korea, Festival Film Pendek XXI, Europe on Screen, Festival Film Kolombia, Festival Film 100% Manusia, dan 50 film, antara lain Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016) dan Wiro Sableng (2018).

Julia Winterflood adalah penulis lepas, editor, dan penerjemah yang menyebut Indonesia sebagai rumah sejak 2014. Dia mengedit buletin The Bali Beat, rangkuman harian berita dan info COVID-19 terbesar di provinsi itu. Dia memiliki byline di Nikkei Asia, Southeast Asia Globe, The Diplomat, Mekong Review, Travel Weekly Asia, dan lain-lain. Dia menerjemahkan fiksi dan nonfiksi Indonesia. Sebelumnya ia mengelola media internasional untuk Ubud Writers & Readers Festival.

Tim Penerjemah

Tiffany Tsao adalah penulis dan penerjemah sastra. Dia adalah penulis seri Oddfits dan juga novel The Majesties, yang dinominasikan untuk penghargaan Ned Kelly Award 2019. Karya terjemahan fiksi dan puisi Indonesianya antara lain adalah Perahu Kertas oleh Dewi Lestari, Aruna & Lidahnya oleh Laksmi Pamuntjak, dan Sergius Mencari Bacchus oleh Norman Erikson Pasaribu yang dinominasikan untuk penghargaan NSW Premier Translation Prize 2021.

Sebastian Partogi adalah seorang jurnalis, copywriter, dan penerjemah sastra yang tinggal di Ubud, Bali. Ia telah menerjemahkan karya Ratih Kumala, Djenar Maesa Ayu, Sindhunata, dan Feby Indirani ke bahasa Inggris. Ia sedang mengerjakan beberapa proyek sampingan.

Liswindio Apendicaesar adalah seorang penulis dan penerjemah dari Indonesia. Ia terlibat dalam Komunitas Sastra Pawon dan adalah bagian dari tim redaksi Buletin Sastra Pawon. Pada 2019, ia diundang ke Bengkulu Writers Festival dan South Tangerang Literary Festival. Pada tahun yang sama, ia bergabung dengan tim penerjemahan InterSastra untuk serial Unrepressed. Karyanya telah atau akan diterbitkan di beberapa media, baik nasional maupun internasional, seperti Tempo, The Jakarta Post, Voice & Verse Poetry Hong Kong, Oyez Review, dan sebagainya. Kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Malam untk Ashkii Dighin diterbitkan pada 2017. Belakangan ini, terjemahannya dari kumpulan puisi anak-anak Enid Blyton berjudul Bisikan Anak-anak diterbitkan oleh Bukukatta.

Norman Erikson Pasaribu adalah penyair, penulis fiksi, dan penerjemah sastra yang banyak memenangkan penghargaan. Ia lahir di Jakarta tahun 1990. Kumpulan ceritanya, Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu, terbit pada 2014 dan dinominasikan untuk Kusala Sastra Khatulistiwa. Salah satu cerpennya masuk ke dalam Cerita Terbaik Kompas 2012. Kumpulan puisinya, Sergius Mencari Bacchus, memenangkan juara pertama pada Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 2015 dan adalah finalis Kusala Sastra Khatulistiwa. Puisinya antara lain pernah dipublikasikan dalam Asymptote, Modern Poetry in Translation, Asia Literary Review, dan Cordite Poetry Review. Ia tinggal di Jakarta.

Jessica Jemalem Ginting adalah seorang penyair, penerjemah, editor, dan penulis komik dari Jakarta yang kini tinggal di London. Puisinya telah diterbitkan dalam Toho Journal, Chogwa Zine, The New Verse News, Bristol Poetry Anthology, dan Anak Sastra. Kumpulan puisi terbarunya, Voyages, baru diterbitkan oleh Bottlecap Press pada 2021. Judul lain yang telah ia kerjakan sebagai penulis dan editor antara lain adalah: zine puisi dan seni UTOPIA (2020), dan edisi Indonesia dari CultureSmart! (2021) terbitan Kuperard Publishers. Kumpulan cerpen perdananya, Moon Petals, diterbitkan pada 2017. Jessica juga penulis dan pencipta komik superhero orisinil Indonesia, ROSANA!

Julia Winterflood adalah penulis lepas, editor, dan penerjemah yang menyebut Indonesia sebagai rumah sejak 2014. Dia mengedit buletin The Bali Beat, rangkuman harian berita dan info COVID-19 terbesar di provinsi itu. Dia memiliki byline di Nikkei Asia, Southeast Asia Globe, The Diplomat, Mekong Review, Travel Weekly Asia, dan lain-lain. Dia menerjemahkan fiksi dan nonfiksi Indonesia. Sebelumnya ia mengelola media internasional untuk Ubud Writers & Readers Festival.

Rio Johan telah menerbitkan tiga buku dalam bahasa Indonesia: kumpulan cerita pendek berjudul Aksara Amananunna (2014), dan dua novel, Ibu Susu (2017) dan Buanglah Hajat pada Tempatnya (2020). Ia memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori Buku Perdana/Kedua untuk Ibu Susu. Buku keempatnya, kumpulan cerita pendek Rekayasa Buah, akan diterbitkan pada Juni 2021. Ia telah menerbitkan beberapa cerpen yang ia terjemahkan sendiri di MĀNOA: A Pacific Journal of International Writing and Samovar, dan juga telah menerjemahkan beberapa karya dari bahasa Inggris dan Prancis ke bahasa Indonesia. Ia kini sedang mempelajari sinema di Paris. Ia dapat dihubungi melalui email rio_johan@rocketmail.com atau Twitter @riojohan

Nathania Silalahi adalah pemilik anjing chow-chow yang berminat dalam penerjemahan sastra dan penulisan cerita pendek. Ia memiliki Bachelor of Arts di jurusan Filsafat, Politik, dan Ekonomi, dan kini bekerja di bidang pendidikan.

Ruby Astari lahir di Jakarta pada November 1981. Ia menulis fiksi dan nonfiksi selain menerjemahkan sastra dari Indonesia ke Inggris dan sebaliknya. Beberapa karyanya telah muncul di kaWanku!, SPICE!, dan Story Magazine, dan online di Jendela360.com, Magdalene.co, Lakilakibaru.or.id, Konde.co, Empuan.id, and Voxpop.id. Seorang penulis lepas di Kontenesia.com, ia telah menulis sebuah novel thriller YA berjudul Reva’s Tale (diterbitkan Ice Cube, Gramedia). Kumpulan puisi bahasa Inggrisnya, A Phoenix Speaks, sedang dalam proses penerbitan.

Madina Malahayati Chumaera adalah mahasiswi S1 jurusan Ilmu Komputer di Jakarta, Indonesia. Minatnya terletak di persimpangan antara ilmu sosial, sains, dan semua di antaranya. Ia bisa ditemukan di Twitter @falsecatch dan di malahayati.carrd.co/

Tim Pemeriksa Aksara

Chiara Situmorang adalah penulis, editor, dan pengagum bulan. Karyanya telah atau akan diterbitkan antara lain di Uncanny, Crow & Cross Keys, and Dwelling Literary. Ia tinggal di Jakarta dengan keluarganya dan tiga ekor anjing pudel. Ia bisa ditemukan mengoceh sendiri di Twitter @chiarastmng.

Chandra Bientang memulai karier menulisnya sebagai seorang penulis konten. Novel debutnya, Dua Dini Hari, diterbitkan oleh Noura Publishing pada 2019. Novel tersebut menerima dukungan terjemahan dari Komite Buku Nasional melalui LitRi Translation Funding Program. Pada tahun yang sama, ia terpilih sebagai notable emerging writer oleh Ubud Writers and Readers Festival. Ia belajar Filsafat pada Universitas Indonesia, yang memperkuat keinginannya untuk menjadi penulis. Kini ia sedang menulis kumpulan cerita pendek. Cari tahu lebih banyak tentang Chandra melalui Instagram dan Facebook Chandra Bientang.

Tim Dokumentasi dan Fotografer

Winner Wijaya lahir di Surabaya, pada 1995, dan besar di Malang, Jawa Timur. Ia gemar membuat film sejak kelas lima SD, karena sempat diajari oleh guru sekolahnya. Setiap akhir pekan, bersama teman-temannya, ia membuat film dengan handycam MiniDV yang sering error. Mereka mencoba hal-hal baru yang menyenangkan: mengecat tembok rumah menjadi hijau untuk chroma keying, memakai topeng-topeng hantu, membuat cerita-cerita yang aneh, dan lain sebagianya. Pada 2020 lulus sebagai Sarjana Seni dari Universitas Multimedia Nusantara jurusan Film. Sekarang melanjutkan studinya dengan mengambil program Magister Filsafat Sistematis di STFT Widya Sasana. Filmnya, Ojek Lusi, meraih penghargaan dokumenter pendek terbaik di Festival Film Dokumenter 2017, nominasi Piala Citra 2018, dan sudah diputar pada festival film di lebih dari 10 negara.

Rayner Wijaya lahir pada 1997. Lulus pada 2019 dari Universitas Prasetiya Mulya dengan gelar Sarjana Ekonomi. Latar belakang tersebut membantu kariernya sebagai produser. Sejak 2018 Rayner telah memproduksi beberapa iklan dan film pendek. Saat ini Rayner dan saudaranya Winner Wijaya sedang membangun sebuah rumah produksi dengan nama Hore Besok Libur! Tujuan dari nama yang ceria ini adalah menunjukkan bahwa mereka akan membuat film yang lucu dan menenangkan untuk dinikmati oleh semua orang.

Paula Nanlohy bercita-cita menjadi fotografer jurnalistik. Ia menaruh perhatian yang besar terhadap isu-isu yang berhubungan dengan gender, HAM, dan budaya. Ia berharap dapat bercerita mengenai isu-isu tersebut melalui karya-karya fotografinya.

Dea Ratna adalah penulis dan fotografer yang sekarang berbasis di Indonesia. Karya yang dihasilkan oleh Dea berada di titik pertemuan antara ras, gender, seksualitas, dan pascakolonialisme. Setelah mempelajari fotografi di Singapura, Dea mulai bereksperimen dengan karya berbasis waktu seperti video dan performans.

Andree Zulkarnain adalah mahasiswa S1 Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta dengan jurusan Produksi. Telah aktif membuat cerita viual sejak SMA. Ia menyadari bahwa film dan foto adalah media yang menarik untuk bercerita. Dan menurutnya, media tersebut dapat berbagi dan mengungkapkan makna dari perasaan yang sulit diwujudkan dengan cara lain.

Pengembang Situsweb

Rickdy Vanduwin memiliki ketertarikan terhadap isu gender, seksualitas, dan krisis iklim. Kariernya dimulai dengan menjadi Staff Writer di Affinity Magazine, majalah berbasis web di Amerika Serikat. Di tahun 2017, dia mendirikan Resource Center on Gender, Sexuality, and Human Rights Studies Udayana (GSHR Udayana), sebuah ruang aman untuk mengkaji isu interseksionalitas. Saat ini dia bekerja sebagai Research Officer di Resilience Development Initiative, sebuah institut riset yang mengkaji studi resiliensi. Dia bekerja di bawah klaster Children, Social Welfare, and Health (CSWH). Di waktu luangnya, dia membantu organisasi non-profit kecil untuk mengembangkan website mereka secara profesional.